“Quid est veritas?”
Ungkapan Latin di atas merupakan pertanyaan Pilatus pada Yesus. Artinya “Apakah itu kebenaran?”
Yesus tidak menjawab pertanyaan itu. Mengapa?
Bisa jadi karena Yesus tahu bahwa seandainya pun Ia menjawab itu, Pilatus tak akan mengubah jalan Salib yang akan dijalani Yesus.
Atau bisa jadi, Yesus sedang membiarkan Pilatus terombang-ambing oleh pertanyaan itu sendiri. Yesus membiarkan Pilatus mencari jawabannya sendiri.
Bacaan dari Imamat ini mengingatkan bahwa kasih itu diungkapkan terutama dalam keadilan. Mari kita camkan:
“Tuhan berfirman kepada Musa,
“Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel
dan katakan kepada mereka:
Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus.
Janganlah kamu mencuri,
janganlah kamu berbohong
dan janganlah berdusta seorang kepada sesamanya.
Janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku,
supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu;
Akulah Tuhan.
Janganlah engkau memeras sesamamu manusia
dan janganlah merampas;
janganlah kautahan upah seorang pekerja harian
sampai besok harinya.
Janganlah kaukutuki orang tuli,
dan di depan orang buta janganlah kautaruh batu sandungan;
engkau harus takut akan Allahmu;
Akulah Tuhan.
Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan;
janganlah membela orang kecil secara tidak wajar,
dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar,
tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran.
Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah
di antara orang-orang sebangsamu;
janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia;
Akulah Tuhan.
Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu,
tetapi engkau harus berterus terang menegur sesamamu,
dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu
karena dia.
Janganlah engkau menuntut balas,
dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu,
melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri;
Akulah Tuhan.” (Im 19:1-2.11-18)
Kalau begitu, sudahkah Pilatus mengadili dengan kebenaran ketika hatinya terombang-ambing?
Dalam tradisi filsafat skolastik, kebenaran diterjemahkan sebagai “kesesuaian pengetahuan dengan kenyataan” (adeguatio rei intellectus).
Banyak problem sosial dan relasi dalam keluarga dan sesama dalam masyarakat berakar pada rusaknya keadilan itu.
Ketika kita memandang orang lain bukan sebagai sesama manusia, nah mulailah ketidakadilan itu. Manusia bisa menjadi monster yang siap memakan sesamanya yang lemah, baik lemah secara ekonomi, sosial maupun lemah fisik. Gejala bullying dan kekerasan fisik yang marak itu menandakan ada pola relasi yang terlanjur. rusak tetapi dianggap biasa, bahkan dianggap bagian kultur manusia.
Masih adakah kebenaran itu? Masihkah kita,mencari dan menemukannya? Ataukah kita sebetulnya tidak peduli, dan berpuas diri hidup ikut insting saja? Dimana jatidiri rohani kita sebagai anak-anak Allah, yang mau hidup dalam tuntunan RohNya yakni hidup dalam kasih dan keadilan?
Kasih dan keadilan perlu mulai dari hati dan pikiran .
Salam kasih dan keadilan.
eMYe
-ditulis oleh eMYe-