MENDIDIK SISWA MELAYANI UMAT

Hidup dan berkarya bersama umat Paroki Santo Isidorus merupakan hal yang istimewa bagi saya. Sejak tahun 1978, saya sudah mengajar di SMP Kanisius Argokiloso. Sebagian murid SMP saat itu merupakan penghuni asrama.  Saat pertama kali bertugas, saya masih belum punya rumah sehingga mendiami sebuah ruangan di SD Kanisius Sanjaya. Di mess ini saya tinggal bersama beberapa orang guru yang juga sekaligus pendamping asrama.

Di tengah-tengah aktivitas sehari-hari ini, saya mengenal F.X. Dwiyanto yang saya anggap sebagai penghubung antara sekolah dan Gereja. Waktu itu F.X. Dwiyanto adalah Kepala Sekolah SD Kanisius Sanjaya yang kemudian digantikan oleh Suster Maria Yakoba,SND.

Peran sebagai pendamping asrama sangat menarik menurut saya. Pendamping bertugas penuh terhadap siswa baik saat di dalam asrama maupun ketika di luar asrama. Selain itu saya juga bertugas memberikan pendidikan pelajaran agama di stasi dan wilayah. Sampai tahun 1982, saya bertugas sebagai pendamping asrama. Setelah tahun tersebut, pendampingan asrama sempat vakum dan dimulai lagi setelah di sekolah mengenal EBTANAS.

Banyak sekali pengalaman yang menarik selama saya berinteraksi dengan murid-murid SMPK  yang sebagian adalah anak asrama tersebut. Kenakalan remaja berulang kali terjadi. Demikian juga dengan “tamu yang tak diundang,” seperti para preman, orang gila yang kesasar, dan orang tua murid yang “ngamuk.” Dalam ingatan saya, kasus-kasus seperti ini saya tangani bersama rekan kerja saya, almarhum P.C. Rahardja. Kami berdua aktif berperan agar setiap masalah yang muncul bisa diredam dengan baik. Dalam beberapa kasus, rekan saya sering lebih emosional dan tegas. Sementara saya lebih suka melakukan pendekatan dari hati ke hati. Apapun yang terjadi, setiap masalah yang terjadi selalu bisa ditangani.

Suatu saat, saya mendapati warga yang datang ke sekolah sambil membawa golok. Ternyata murid-murid membuat ulah dengan memetik buah milik masyarakat tanpa izin. Sebagian buah tersebut tidak dimakan dan dibuang begitu saja.

Pada kesempatan yang lain, seorang guru juga terpaksa “libur” mengajar karena mendapatkan masalah dengan orang tua murid. Saya kemudian melakukan koordinasi sehingga masalah bisa selesai.  Pernah juga terjadi saya akan dikeroyok preman. Permasalahan terjadi karena ada anak asrama yang bermasalah. Sebuah kotak surat di asrama (komplek sekolah SD Kanisius Sanjaya saat ini) sudah dirusak dan beberapa orang menunggu saya. Karena saya merasa benar, semua saya hadapi dan permasalahan selesai.

Tahun-tahun dimana saya aktif sebagai guru, sering juga mengalami kejadian  yang berkesan. Tidak seperti saat ini dimana komunikasi sudah maju, koordinasi dengan romo pimpinan yayasan kadang menjadi suatu hal yang melelahkan. Ketika ada suatu masalah, saya diutus untuk menemui seorang romo di Gedangan. Proses ini memakan waktu lama karena saya harus menunggu romo yang tengah istirahat (tidur), setelah itu memimpin misa. Setelah bertemu sebentar, saya menyampaikan segala sesuatunya lalu pulang ke Sukorejo. Perjalanan ini tidak lancar karena saya kemalaman saat berada di Weleri. Untunglah sebuah truk memberikan tumpangannya dan saya bisa sampai ke Sukorejo.

Mendidik siswa bagi saya berarti bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Begitu juga saat ada kerabat siswa yang meninggal. Dengan berjalan kaki, saya mengantar siswa tersebut pulang ke Ngaliyan. Pulangnya saya kembali berjalan kaki dan baru bisa mendapatkan air minum di Dusun Sendang.

Pengalaman menjadi pengajar saya rasakan biasa saja. Namun pengalaman mendidik siswa inilah yang menjadikan saya mempunyai banyak pengalaman. Seandainya dulu saya takut menghadapi banyak masalah, mungkin saya tidak akan menjadi seperti sekarang ini.

Pengalaman menjadi prodiakon juga membuat saya banyak kedatangan romo yang mau mampir dan beristirahat di gubuk saya. Seorang romo bahkan ingin membuat rumah seperti rumah saya saat melihat bangunan rumah saya yang masih sederhana.

Perjalanan hidup saya bersama Gereja dan Sekolah Katolik saya ibaratkan dalam cerita pewayangan. Dari “Padepokan Argokiloso,” akhirnya saya kembali ke Grojogan Sewu, pertapaan Bolodewo. Saat tugas mengajar dan misi pastoral selesai, saya melanjutkan hidup saya sebagai umat Katolik, menjadi orang yang dituakan di Lingkungan Maria De Fatima.

Dalam pesta ulang tahun Paroki dan asrama ini saya mengharapkan Gereja semakin kuat, bersatu, dan keterlibatan umat harus ditingkatkan. Semua harus bekerja sama untuk mewujudkan persatuan.

Curug sewu, 07 Agustus 2017

Markus Semitarjo

Pendidik/guru di SMPK Argokiloso yang sudah pensiun, pernah bertugas sebagai pendamping Asrama Manik Hargo, tinggal di Curug Sewu.

-diambil dari Buku Kenangan 90 tahun Paroki St. Isidorus Sukorejo-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

PAROKI ST. ISIDORUS SUKOREJO

90  TAHUN BAPTISAN PERTAMA

“Diutus Mewujudkan Peradaban Kasih”

Tidak Secara Tiba-Tiba

Pada tahun 1927 di Sukorejo terjadi pembaptisan seorang bayi, Yang membaptis adalah seorang pastor/romo dengan arsip tercatat. Inilah dipakai sebagai pijakan adanya Gereja (paroki). Kemudian di sekitar tahun 1930 terjadi pembaptisan yang dilakukan orang awam. Istilah sekarang itulah tindakan pastoral dan kerasulan awam.

Paroki St. Isidorus Sukorejo dikenal sebagai paroki desa karena wilayah perkebunan dengan tradisi kuat masyarakat tani dan buruh. Dengan proses yang panjang, orang di pedesaan menjadi Katolik. Hal yang biasa (Jawa: Pakulinane) kalau masyarakat di pinggir hutan hidup dari mengambil apa yang ada di kebun yaitu kayu bakar, kopi, cengkeh sisa, mungkin juga batang kayu yang dapat dijual. Tak heran jika muncul istilah miring, mencuri kayu.

Dalam pastoral penggembalaan umat; tidak bijaksana jika kita mencaci-maki, memarahi umat karena masalah kebiasaan tersebut tanpa memberikan jalan keluar yang nyata. Lebih baik masuk dalam kesulitan umat, pelan-pelan mendidik mereka dengan menanam pohon sengon, pohon buah-buahan, atau yang lain.  Bersama dengan mereka berproses.

Jika dulu ada kesan, ”paroki Sukorejo bagaikan “gerobag rodanya segi empat,” maka sekarang apakah masih demikian?

Dalam berproses bersama ini, penambahan jumlah umat katolik tidak menjadi prioritas utama. Yang penting “dadia wong kang apik, becik, wong kang utama, urip rukun karo tangga teparo”, saling menghargai pada keyakinan atau agama masing-masing. Guyub membangun masyarakat demi kesejahteraan bersama dan menjadi garam dunia. Saya juga melihat semangat umat di wilayah dan stasi, bersama-sama membangun infrastruktur tanpa memandang agama. Berbicara perihal Asrama Manik Hargo, asrama adalah tempat pembinaan dan calon pemimpin umat. Sopan santun, tata krama, tata tertib, kedisiplinan, kejujuran, mandiri, saling menghargai, keterlibatan dalam Ekaristi, ditanamkan pada anak-anak asrama.

Sekali lagi, kesetiaan pada proses itu penting. Karya Roh Kudus tidak tiba-tiba mak bedunduk, namun melalui proses. Dalam proses ini, kita patut bersyukur bahwa dari paroki ini ada benih panggilan imamat, imam, bruder, dan suster. Namun mengubah mentalitas umat, pemeliharaan umat ke dalam, membangun iman kristiani, membangun persaudaraan sejati, mewujudkan peradaban kasih tetap menjadi tanggung jawab kita bersama. Renovasi kapel di lingkungan sudah selesai dilakukan. Saatnya kita bersama-sama memelihara dan menjadikannya tempat berdoa. Pendampingan PIR, PIA, KPP, PD Karismatik, Paguyuban Priya Sejati, Waberkat, pun tidak boleh diabaikan. HAK, Natalan bersama umat Kristiani tingkat Kabupaten Kendal, Natal dan Paskah Tingkat Rayon KERIS, Peringatan HPS dilaksanakan oleh umat paroki. Berbagai pelayanan peribadatan dan misa serta pelayanan sarasehan Jumat Kliwonan dan Selasa Kliwonan telah menjadi kegiatan rutin umat. Aksi sosial, kemanusiaan: bingkisan sembako, donor darah, pengobatan gratis, bantuan pembuatan MCK bagi warga masyarakat, dan Credit Union menjadi kehadiran nyata umat di tengah masyarakat. Untuk menyambut perayaan ini kita melakukan Novena Paroki; “Syukur: Diutus Mewujudkan Peradaban Kasih”, supaya batin kita juga turut  disiapkan. Akhirnya, saya berharap, bersama umat separoki, kita bersama bisa memasuki Ardas KAS 2016-2020 dan RIKAS 2035 sehingga terwujud umat yang cerdas, tangguh, missioner, keluarga grengseng, lingkungan dan kelompokgayeng, melu cawe-cawe dalam masyarakat; pelayanan karitatif, dan berdayanya kaum kecil, lemah, miskin di sekitar Paroki St. Isidorus Sukorejo.

Sebagai penutup tulisan ini, saya menyadur tulisan almarhum Rm. Mangunwijaya, Sang Begawan Burung Manyar yang menulis UNSUR PANCAPRAMANA sebagai bahan refleksi kita bersama:

  1. Sekompak apa komunikasi dalam dan antar umat paroki terjadi? Bagaimana umat saling kontak, saling menanggapi, saling reaksi, saling merespon, hingga hal ihwal apapun mereka hayati bersama?
  2. Seguyub mana umat paroki saling melakukan kesetiakawanan atau solidaritas?. Kesetiakawanan tampak dalam segala peristiwa umat yang menggembirakan maupun dalam kesulitan. Sebagai ilustrasi: seorang ayah tidak akan berjalan terlalu cepat bila ia tahu, bahwa isterinya atau anaknya punya langkah pendek. Di sisi lain sang isteri akan berusaha mempercepat langkahnya, dan bila perlu si anak kecil digendong saja.
  3. Sehangat mana kewibawaan kepemimpinan umat disegani, dipatuhi tetapi juga disayangi, dicintai?
  4. Sebebas apa dalam kerja sama melakukan introspeksi, refleksi, untuk penyehatan kembali hal-hal yang kurang lancar? Perlu diperhatikan proses kaderisasi, peremajaan kepimpinan. Sejauh mana umat mau, sanggup, dan rela berkorban,solider satu dengan yang lain?

Ini semua dilandasi oleh iman, harapan serta cinta kasih kristiani

(*=detak jantung, jiwa, mata ukuran)

Sukorejo, 6 Agustus 2017

Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya.

Th. Budiarsa – Tokoh umat Paroki St. Isidorus Sukorejo

-diambil dari Buku Kenangan 90 tahun Paroki St. Isidorus Sukorejo-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Sepasang Kupu-kupu

-Cerita Kecil-

Ketika aku berjalan di sawah, kulihat sepasang kupu-kupu terbang berkejaran. Tak berapa lama kemudian, mereka hinggap di sebuah dahan rumput liar. Aku bertanya dalam hati, “Apa gerangan yang menjadi percakapan mereka?” tidak ada suara. Keduanya diam. Hanya berkomunikasi dengan sayapnya. Satu membuka, mengepakkan sayap, lalu yang lain menjawab dengan membuka dan mengepakkan sayap juga. Apa gerangan yang dibicarakannya? Entahlah, aku bukan kupu-kupu. Tetapi rasa ingin tahuku menggerakkan tanyaku.

Aku lalu pandang mereka dalam diam. Hening menyelimuti persawahan di pagi ini. Hanya suara belalang yang kadang terdengar di semak-semak sekitarnya. Itu pun tak mengganggu sepasang kupu-kupu yang sedang asyik dalam diam.

Kupu-kupu yang terbang kesana kemari hanya mencari tempat perhinggapan yang nyaman. Atau mungkin, kupu-kupu yang terbang “ngalor ngidul, ngetan bali ngulon” (ke utara selatan, ke timur lalu ke barat) hanya sekedar memikat yang lain, agar bisa bersama hingga di bunga yang berdekatan sekedar menghisap madunya.

Pemandangan alam yang biasa itu indah di mata yang menangkapnya. Namun, bisa jadi kupu-kupu dianggap mengganggu juga bila hati tidak siap.

Ketika kupu-kupu masuk kamar, ada sebagian masyarakat yang mempercayai sebagai medium kehadiran saudara yang sudah meninggal. Maka, kadang kupu-kupu disambut hangat bagaikan tamu. Disapa sebagai saudara yang datang.

Bagi anak-anak, bermain dengan kupu-kupu itu menyenangkan. Karena ramahnya, anak-anak yang masih polos ingin menangkapnya. Kata-katanya dalam bahasa Jawa untuk menangkap kupu-kupu itu “incup” seperti dalam tembang anak-anak: “Kupu-kupu tak incupe, mung abure ngewuhake..(kupu-kupu kan kutangkap, namun terbangnya merepotkan)..” sebuah ungkapan keramahan dan sayang.

Namun, sesuatu yang indah dan menawan dari kupu-kupu juga menjadi lambang sesuatu yang malang. Istilah “kupu-kupu malam” memberi arti malang dan buruknya keindahan yang sekedar dinikmati sekejap dalam kegelapan dan keremangan. Bukankah keindahan nyata dalam terang? Segelap-gelapnya alam, apalah artinya tanpa secercah cahaya.

Sepasang kupu-kupu itu masih diam. Lalu kutinggal pergi seraya membawa gambaran indah. Intimitas yang makin dalam direguk dalam diam, bukan hiruk pikuk dunia yang kelam.

Aku kembali dalam diam sambil menikmati mandi mentari yang menghangatkan tubuh, dan membuat kulit semakin kelam.

Salam sehat
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Suket Teki

-Cerita Kecil-

“Suket Teki” (Rumput Teki)

Di kebun sayur ada banyak rumput teki. Bahkan tumbuhnya bisa lebih cepat daripada sayurannya. Kalau tidak rajin menyianginya, tanah yang sudah dicangkul akan cepat penuh dengan rumput liar itu.

Munculnya rumput itu sering bikin kecewa karena mengganggu pertumbuhan tanaman yang diharapkan bisa lebih berguna untuk dimakan.

Saking liarnya, saking mudah bikin kecewanya, sampai-sampai Didi Kempot almarhum pun mengambil metafor rumput teki dalam lagunya. Syairnya: “tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki” (aku telah menanam padi, tetapi malahan yang tumbuh rumput teki). Sebuah gambaran kekecewaan dalam percintaan. Sudah banyak berbuat baik, mungkin juga sudah habis-habisan mencintai pacar, tetapi balasannya malah mengecewakan dan menyakitkan.

Itulah pengalaman sehari-hari kita. Bukan hanya soal percintaan, tetapi dalam pergaulan sosial kita. Kebaikan kita mudah sekali dibalas dengan kebencian dan pengkhianatan. Entah itu pemimpin, entah orang biasa, tentu pernah mengalaminya.

Memang “suket teki” itu tanaman yang jauh lebih kecil dibandingkan tanaman padi, apalagi sayuran. Namun biasanya, meskipun kecil, rumput itu bisa tumbuh banyak sekali.

Gambaran itu menunjuk pada penyakit iri dan kebencian yang mudah sekali tumbuh di hati manusia, dan mudah sekali menyebar. Meskipun kecil, rasa iri dan benci tetap menyakitkan. Butuh jiwa besar untuk menghadapinya.

Rumput teki yang kecil itu memiliki akar yang pahit. Bisa dipakai untuk obat katanya, menambah kekuatan dan daya tahan. Begitu pula kepahitan-kepahitan hidup yang kita alami setiap hari, bisa menjadi kekuatan kita menghadapi tantangan yang lebih besar.

Semoga di tengah tantangan besar wabah corona ini, kita tetap kuat meski kadang harus menghadapi perlawanan, kebandelan orang yang tidak disiplin diri. Tetap menebar kebaikan dengan berjarak dan setia pada anjuran yang berwenang akan bisa membantu melewati masa krisis ini.

Salam sehat.
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Ranting Tanjung Kering

-Cerita Kecil-

“Ranting Tanjung Kering”

Di taman ada pohon tanjung yang disukai burung-burung untuk bersarang. Bukan hanya burung yang suka, juga tupai-tupai pun kelihatan gembira karena buahnya yang kecil ada sepanjang tahun. Ketika pohon-pohon sekitarnya sudah tidak berbuah, pohon tanjung masih memberikan buahnya yang sangat kecil-kecil.

Pohon tanjung biasa ditempatkan di taman atau pelataran depan rumah, bukan hanya untuk perindang dan pengasri, tetapi bisa dipakai untuk menghadirkan lambang keramahtamahan (hospitality). Mengapa?

Kalau boleh dikeratabahasakan, tanjung itu “tresna jinunjung”. Maksudnya, bisa kita artikan tanaman itu menyambut setiap orang yang datang dengan menjunjung hormat, bukan permusuhan. Setiap orang yang datang disambut. Setelah merasakan disambut, setiap tamu yang hadir diharapkan krasan.

Begitu juga harapan bagi orang muda yang datang, bukan hanya krasan tetapi lalu terpikat hatinya menanggapi panggilan Tuhan untuk tinggal menjadi bagian dalam persekutuan dan perutusan yang sama.

Pagi ini tampak ada ranting pohon tanjung yang patah dan jatuh karena memang sudah kering. Padahal kayu tanjung itu termasuk kayu yang sangat keras. Toh demikian, begitu kering, ia pun patah.

Yang namanya ranting memang tidak bisa hidup lepas dari batang pohon. Begitu lepas, yah hanya menjadi kayu bakar.

Kiranya hidup kita pun tak ubahnya sebagai ranting. Hidup kita bergantung pada Sang Sumbernya. Lepas dari sumber itu, hidup kita tidak ada dayanya, dan layu lalu mati ditelan bumi.

Menyadari kenyataan itu, masa pandemi corona ini menjadi kesempatan kita untuk semakin dekat dan bersatu dengan Sang Pemberi hidup. Sewaktu-waktu hidup kita dicabut, dan bagai kayu kering rontok. Sebelum rontok, semoga masih bisa berbuah.

Seperti juga pohon tanjung, yang bisa melambangkan “hidup dijunjung”, selama masih bernafas, alangkah indahnya masih bisa saling menyanjung, menghormati dan berempati.

Adalah kesombongan belaka, kita mengatakan, “Aku tak butuh itu.” Sedingin-dinginya cinta, sekering-keringnya kasih sayang, pujian dan dukungan, perhatian dan bantuan, tetaplah masih perlu dihadirkan sebagai ungkapannya.

Ranting kering itu masih tergeletak di bawah pohon tanjung. Tupai masih berlari berkejaran di dedahanan. Kegembiraan masih ada meskipun si kering telah terjatuh tidak berdaya. Alangkah bahagianya ranting dan dahan yang masih bisa menjadi tempat bermain dan bercanda burung dan tupai di sana.

Bahagia itu memberi ruang hidup bagi sesama.

13 Mei 2020
Salam sehat
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

 Doa Maria Saat Yesus Menderita

-Kontemplasi-

(Di sudut biliknya, Maria terpaku diam dalam doa, setelah mendengar berita Yesus ditangkap. Batinnya bergumul dalam diam, dalam doa.)

Ya Tuhan, inikah misteriMu yang harus kukandung terus, melihat PuteraMu didera berbagai hasutan dan pengkhianatan, penolakan oleh bangsaku sendiri.

Kuingat kembali salam malaikat dulu kepadaku, yang kini terasa seperti sebilah belati menusuk hatiku pedih.
Aku telah menjawabnya, ya aku ini hambaMu, seluruh diriku milikMu.
Namun. Haruskah aku menyaksikan peluh darah menetes dari luka deritaNya? Bukankah derita dan sakitNya juga derita dan sakitku juga?

Ya aku hanyalah hamba sahayaMu.

Kata pun tak cukup mengandung semua misteriMu yang tak terselami. Rasa tak cukup menampung jalanMu yang penuh kelokan liku.

Aku ini hanya hamba sahayaMu yang lemah, mampu apakah aku bagi misteri karyaMu yang gelap penuh?

Aku ini hamba sahayaMu, jadilah padaku menurut kehendakMu, meski sedih dan perih seluruh, kuasaMu lebih kuat daripada gerak bumi seluruh.

Apapun yang terjadi itu, biarlah aku sedekat dan setubuh yang penuh peluh, dan darah di tubuh, tanpa keluh; biarlah rahimku kembali penuh oleh sabdaMu yang berteduh, biarlah air susuku direguk menghilangkan dan mengusap tangis keluh yang tak terucap sungguh.

Aku ini hamba sahayaMu sungguh, yang pernah merasakan manis tangis PuteraMu dalam peluk tidur, dalam gendonganku hangatNya masih kurasa dalam ruh.

Kini peluk dan gendong itu kuberikan padaNya, dalam manis dan hangat darah di luka-lukaNya.

Kini peluk dan gendongku terbuka juga bagiNya dalam duka.

Kini, cium sayangku merengkuh juga deritaNya. Aku satu dalam luka-lukaNya, sebagaimana aku satu dalam tangis kelahiranNya.

Sakit melahirkan Dia, adalah sakit bahagia. Namun kini kutahu, sakit itu pula yang membuat satu dalam deritaNya.

Aku ini hamba sahayaMu ya Tuhan, terjadilah semua itu seturut kehendakMu.

Jangan biarkan rencanaMu terhalang oleh ketakutanku kehilangan Dia.
Jangan biarkan airmata meneteskan duka dusta, yang menggantikan darah penyelamatanNya.

Ya Tuhan, inikah misteri salam malaikatMu dulu?
Inikah jalan menjadi ibu PuteraMu?

Aku ini hamba sahayaMu, terjadilah padaku menurut kehendakMu.

Jadilah menurut kehendakMu.
Jadilah menurut kehendakMu.
Jadilah menurut kehendakMu.

-ditulis oleh eMYe-