Paroki Santo Isidorus Sukorejo , pada mulanya, merupakan stasi dari Paroki Santo Yusup Gedangan. Dalam buku baptis di Paroki Santo Yusup Gedangan ditemukan data-data sebagai berikut: Pada tanggal 19 Februari 1927 di buku baptis itu tercatat pembaptisan pertama di Sukorejo, yang dibaptis adalah seorang bayi hasil kumpul kebo (istilah gerejani: filia a’naturalis). Inilah satu satunya baptisan dari Pastor Cornelius Ruigrok, SJ yang pada waktu itu tinggal di Gedangan. Rupanya bayi itu dilahirkan oleh keluarga penguasa di sebuah perkebunan di Sukorejo. Kesan yang didapat waktu itu bahwa Gereja belum berkembang sebagai sebuah persekutuan Paguyuban Umat beriman.
Kemudian, situasi berubah dengan kedatangan Pastor Simon Beekman, SJ, yang sungguh-sungguh mengembangkan stasi Sukorejo dari tahun 1927 sampai tahun 1929. Dalam kurun 2 tahun itu,beliau membaptis 12 bayi, yang dimulai pada tanggal 21 September 1927. Beliau tidak lagi memakai istilah filius a’naturalis, tetapi memakai istilah illegitimus (di luar hukum), serta ada beberapa bayi yang lahir dari perkawinan yang sah (legitimum). Kemudian, beliau menyerahkan Stasi Sukorejo kepada Pastor Joannes Erftemijer, SJ.(yang saat itu juga masih tinggal di Gedangan). Pada masa pastor Joannes Erftemijer, SJ ini, tercatat terjadi dua baptisan pertama orang dewasa yang mau meninggal dunia, pada tanggal 11 Agustus 1930 dan 20 Maret 1931. Pembaptisan darurat itu dilakukan oleh pasutri M.A. Kadarisman. Hal ini membuktikan bahwa kaum awam di Stasi Sukorejo saat itu sudah mempunyai bentuk dan tanggungjawab rasuli.
Berdasarkan keterangan seorang saksi sejarah, Ibu Maria Ignatia Liem Tioe Nio, pada tahun 1934, kapel Stasi Sukorejo dipakai juga untuk sekolah HCS (Holland Canisius School) dan pada tahun 1938, kapel itu dipugar menjadi Gereja Sukorejo hingga selesai pada tahun 1941 dan diresmikan oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, pada tanggal 11 Mei 1941. Pada masa penjajahan Jepang, tahun 1943, gedung gereja ditempati oleh tentara Jepang dan baru pada tahun 1948, setelah negara Republik Indonesi merdeka , gereja baru dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya. Kelak, saat Pastor Mikhael Windyatmaka, SJ sebagai pastor paroki, gedung gereja Sukorejo dipugar kembali (pada tahun 1996) . Pemugaran tersebut berlangsung selama 2 tahun, dan akhirnya pada tanggal 4 Oktober 1997, Gereja Santo Isidorus diresmikan oleh Mgr. Ignatius Suharyo. Pada tahun 2009, pastor Ignatius Dradjat Soesilo, SJ mengadakan renovasi kompleks Gereja (jalan salib, gua maria, akses masuk, kapel adorasi, pemasangan paving).
Pastor Petrus Chrysologus Sutopanitro, SJ kemudian mendampingi umat Stasi Sukorejo dari tahun 1950 hingga tahun 1962. Beliau lalu digantikan oleh Pastor Sebastianus Hardaparmaka, SJ (1963-1965). Pada tahun 1965, terjadi tragedi nasional dengan peristiwa G 30 S PKI dan penggembalaan umat tak seintensif di masa tenang. Setelah tragedi usai, umat didampingi oleh Pastor Fredericus Knetsch, SJ (1965-1971). Berdasarkan data-data Serikat Jesus Indonesia 1860-1987, Pastor Fredericus Knetsch, SJ , pada tahun 1966-1968, masih berstatus sebagai pastor paroki St.Yusup Gedangan, karena beliau baru diutus secara resmi sebagai pastor paroki St. Isidorus Sukorejo pada tahun 1970 hingga 1971. Itu berarti pelayanan pengembalaan umat di Sukorejo sebelum tahun 1970 masih merupakan bagian dari pelayanan paroki St. Yusup Gedangan, Semarang. Itu berarti sejak penugasan Pastor Fredericus Knetsch SJ tersebut, Paroki St. Isidorus Sukorejo mulai memiliki seorang imam yang melayani secara penuh di paroki dan sudah lepas dari paroki induknya serta semua urusan pastoral sudah ditangani secara mandiri.
Perkembangan umat Stasi Sukorejo tersebar ke beberapa wilayah kecamatan. Perkembangn umat ini tidak lepas tidak lepas dari peristiwa G30.S.PKI, ketika pemerintah mewajibkan warga untuk memeluk agama yang diakui Negara. Situasi politik semacam itu mengakibatkan adanya pertumbuhan umat sangat pesat di Stasi Sukorejo termasuk di wilayah Ngaliyan. Awal mulanya ada beberapa warga yang menyatakan ingin memeluk agama katolik, antara lain: Resowidjojo, Mak Sun, Sastro Supardjan, dan beberapa yang lain. Hal itu disambut antusias oleh Pastor Fredericus Knetsch, SJ dan mulailah benih-benih gerejawi di penduduk Ngaliyan (1968). Kemudian pelajaran agama diteruskan oleh Tuban Sastrodihardjo, guru agama asal Srumbung Muntilan, dan pada bulan November 1968, diadakan pembaptisan pertama kali. Pengajaran agama lalu dilanjutkan oleh dua putra asli Ngaliyan (kakak beradik),yaitu Stefanus Roeslan Katja Atmadja dan Ignatius Loyola Suwarlan. Pada tanggal 18-19 Maret 1969, terjadi baptisan 800 orang warga desa Ngaliyan oleh Pastor Fredericus Knetsch, SJ, yang menandai berdirinya tonggak Gereja di Ngaliyan, di ujung utara Kabupaten Temanggung. Goresan emas lain tertoreh di dusun Krajan dimana kepala dusunnya , Yustinus Dimedjo Sudjak yang sudah katolik. Oleh karena itu, seluruh wargnya pun minta dipatis. Dari 106 KK, hanya tersisa 12 KK yang tidak katolik, dan itu pun atas permintaan Pastor Fredericus Knetsch, SJ. Pada tahun 1970, dibangunlah kapel sederhana dari kayu dan bambu secara gotong royong, kemudian pada tahun 1971 diadakan pemberkatan kapel semi permanen dan penerimaan sakramen Krisma untuk pertama kali oleh Kardinal Yustinus Darmoyuwono. Pada masa Pastor JosephusWiharjono, SJ bersama Bruder Petrus Kanisius Hardjawardaja,SJ memulai pembangunan gedung Kapel, diteruskan oleh Pastor Josephus Suma Hadiwinata, SJ dan diselesaikan pada masa Pastor Mikhael Windyatmaka, SJ, serta diberkati oleh Kardinal Yulius Darmaatmaja, pada tanggal 17 Juni 1995.
Selain situasi politik saat itu, perkembangan umat Stasi Sukorejo juga tidak lepas dari keterlibatan aktif tokoh-tokoh awamnya (tidak hanya para guru) dalam hidup menggereja. Mereka dapat menjalankan semuanya dengan bagus: urusan organisasi, pengurusan stasi, memberikan pelajaran agama, dll. Keterlibatan aktif umat awam dalam hidup menggereja itu diteguhkan oleh Pastor Franz Magnis Suseno SJ yang berkesempatan menggantikan Pastor Fredericus Knetsch SJ selama dua bulan (Desember 1967 dan Januari 1968). Beliau mengatakan bahwa umat Stasi Sukorejo itu merupakan umat yang bisa diandalkan, umat yang misionaris, umat yang bersemangat tinggi dalam hidup menggereja. Pada masa awal ini, lingkup pelayanan Stasi Sukorejo amat luas yang meliputi: Ngaliyan, Sekecer, Pilangsari, dan Gemuh baru dalam proses dibuka, Weleri, Kendal , Kaliwungu, Mijen dan Boja.
Jumlah umat di kota kecamatan Sukorejo, sebelum tahun 1965,tidak banyak, dan perkembangan umat mulai nampak setelah ada Pastor yang berdomisili di Sukorejo. Sekitar tahun 1988-1982, pada saat Pastor Josephus Suma Hadiwinata, SJ, diputuskan nama Stasi Sukorejo adalah Stasi Ignatius dengan wilayah teritorial: desa Bejen, desa Pagersari, dusun Wates/Gedong, desa Sukorejo, desa Kebumen, Desa Kalibogor dan desa Krikil. Pada tahun 1990, saat umat semakin banyak, Stasi Ignatius Sukorejo dibagi menjadi dua lingkungan: Lingkungan Paulus (dari gereja ke arah barat sampai ke desa Krikil) dan Lingkungan Yohanes (dari gereja kea rah timur sampai ke desa Pagersari dan Bejen. Demi pengembangan umat, Lingkungan Yohanes menyetujui berdirinya kelompok wetan kali (1998/1999). Pada hari Senin, tanggal 14 Mei 2001 dibentuk kepengurusan dengan ketuanya Bapak P. Supriyanto, dan pada hari Senin tanggal 21 Mei 2001 , kelompok wetan kali diberi nama Lingkungan Mateus oleh Pastur Adrianus Suyadi, SJ. Pada masa Pastor Paulus Agung Wijayanto, SJ nama Lingkungan Matius disesuaikan dengan nama Kapelnya menjadi Maria de Fatima, yang semula merupakan gudang kopi yang diubah menjadi Kapel Maria de Fatima, 1974, dan pada masa Pastor Paulus Agung Wijayanto, SJ direnovasi dengan tanpa mengubah bentuknya, serta diresmikan pada tanggal 24 September 2017 oleh Pastor Fransiscus Xaverius Sukendar Wignyasumarto,Pr, Vikjen Keuskupan Agung Semarang. Kemudian pada tahun 2005, lingkungan Paulus dibagi menjadi dua : Lingkungan Paulus (dari gereja sampai ke desa kebumen), dan Lingkungan Lukas (desa kebumen dan Sumber Tlangu. Pada hari Kamis, tanggal 3 Februari 2005, dalam suatu misa di rumah Ibu Lilisiani Dewi ( Cik Tin) oleh Pastur Laurentius Sutarno, SJ
Sedangkan Lingkungan Santo Fransiscus Xaverius Kalimanggis-Kalipuru memiliki keunikannya sendiri. Muncul dan perkembangannya tak terlepaskan dari adanya perkebunan Kalimanggis , wilayah perkebunan PTPN IX (Persero) kebun Sukomangli/Gebangan, dan Kalipuru adalah nama dusunnya. Lingkungan ini diawali oleh prakarsa Bapak Robertus Umaryono (pemimpin kebun/administrator) yang mengambil kebijakan bagi semua karyawannya untuk mengikuti santapan rohani. Santapan rohani itu diadakan di rumah dinas Bapak MY Redjo (kepala bagian kebun/sinder Afdeling Kalimanggis), Sukomangli. Kegiatan itu diasuh oleh Bapak Aloysius Budiono dkk. Banyak orang Kalipuru, baik karyawan maupun bukan karyawan berminat. Akhirnya, pada tahun 1968, orang-orang Kalimanggis dibaptis oleh Pastor Frans Magnis Suseno, SJ. Kemudian dibentuk kepengurusan dimana Bapak Y . Subandi sebagai ketuanya. Karena Bapak Y. Subandi purna tugas dan kembali ketempat asalnya, ketua dilimpahkan ke Bapak Thomas Ruwito. Pada masa pak Thomas Ruwito ini kurang lebih 1970 membeli sebuah rumah penduduk beserta tanah yang dipakai sebagai kapel. Pada tahun 1977, kapel direnovasi dan tahun 1988 kapel direnovasi kembali menjadi bangunan permanen. Karena pak Thomas Ruwito meninggal (1994), Bapak Simon Kadir dipilih umat sebagai penggantinya (1994). Pada tahun 2005, Bapak Simon Kadir mengundurkan diri sebagai ketua lingkungan dan dipilihlah Bapak Maurinus Wasdi sebagai ketua lingkungan yang baru, dan pada tahun 2009 ketua lingkungan diganti pak Petrus Winardi hingga tahun 2016, dan dilanjutkan oleh pak FX. Carmadi. Lingkungan ini memiliki kapel. Karena kapel lama sudah mengalami kerusakan, dinding retak, kusen keropos serta plafon yang terlalu rendah dan terbatasnya lubang ventilasi sehingga kapel tidak nyaman lagi untuk dipergunakan. Maka Kapel direnovasi total dari 8 April 2010 – Januari 2011, pada masa Pastor Ignatius Dradjat Soesilo., SJ.dan pada tanggal 16 Juni 2013 diresmikan oleh Mgr Johannes Pujasumarta.
Situasi yang sama terjadi di Sukomangli. Benih iman di sini muncul atas prakarsa Bapak Sudiyono, Sinder perkebunan Afdeling Sedandang, yang kebetulan katolik, sehingga terlaksana pengajaran agama katolik yang diampu oleh Bapak Aloysius Budiono untuk 8 KK dari karyawan perkebunan tersebut. Akhirnya terjadi baptisan atas 4 kepala keluarga oleh Pastor Fredericus Knetsch SJ, pada tanggal 22 Desember 1968 di kapel Sukomangli. Dalam perkembangannya, karena jumlah umatnya tinggal sedikit, maka umat di Sukomangli disatukan dengan lingkungan Santo Fransiscus Xaverius Kalimanggis.
Demikian juga perkembangan umat di Lingkungan Santo Stefanus Pageruyung tak lepas dari peran tokoh awam yang terpanggil menjadi penabur benih iman seperti Aloysius Budiono dan A M. Sutrisno. Akhirnya terjadi pembaptisan pertama di Pageruyung atas nama Bapak Josef Sunari yang dibaptis pada tanggal 13 Mei 1964 oleh Pastor Sebastianus Hardaparmaka SJ. Pada tahun 1966, di rumah Bapak Josef Sunari ada pelajaran agama untuk 8 orang pemuda dan pemudi dan 3 orang diantaranya asli warga Pageruyung. Awal tahun 1966, peserta pelajaran agama katolik terutama murid murid SD Pageruyung mencapai lebih dari 30 orang, sehingga butuh tempat yang lebih luas serta akhirnya mama Sofi, isteri Kepala Desa Pageruyung mengijinkan rumah pendoponya untuk digunakan sebagai tempat ibadah dan pelajaran agama. Karena peserta katekumen bertambah banyak, tenaga pendidik ditambah Bapak YM. Sutarno dan Bapak Edy Purwanto, serta Bapak Sastro. Di masa masa selanjutnya, perkembangan yang pesat itu menghadapi tantangan dan hambatan baik dari luar maupun dari dalam. Pada tahun 1968, Pastor Fredericus Knetsch SJ membeli rumah beserta tanah dari seorang warga,Mama Sofie, yang kemudian dipakai sebagai tempat ibadah dan diberi nama Kapel Santo Stefanus, serta mulai dipugar pada tanggal 3 Februari 2005 dengan peletakkan batu pertama oleh pastor Albertus Maria Roni Nurhayanto, SJ, Bapak Kepala Desa dan Bapak RT, kemudian pada tanggal 23 Juni 2007 ditinjau oleh Mgr. Ignatius Suharyo. Pada bulan Januari 2011-Juli 2011, Pastor Ignatius Dradjat Soesilo, SJ membangun ruang pertemuan yang berada di belakang kapel dan merenovasi kapel tersebut.
Demikian pula tumbuhnya benih iman di Lingkungan St. Maria Sekecer karena peran aktif kaum awam. Pada tahun 1967, atas permintaan Bapak Sudjopo dan Bapak Dariyanto kepada Bapak AM. Sutrisno untuk memberikan pelajaran agama Katolik di Sekecer. Sekitar pertengahan tahun 1967, di rumah Bapak Rusmo Senawi, bekel Sekecer, diadakan pelajaran agama, yang diikuti sekitar 30 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Karena pengikutnya semakin banyak, pelajaran agama dipandu oleh Bapak AM. Sutrisno dan Bapak Slamet Riyadi secara bergantian. Pada tanggal 10 September 1971 diadakan pembaptisan pertama oleh Pastor Fredericus Knetsch SJ. Saat itu, umat yang dibaptis ada 7 orang, yaitu: Bapak Herman Yoseph Dariyanto, Ibu Maria Christina Suwarni, Bapak Agustinus Djastono, Ibu Chatarina Sina, Bapak Bernardus Sukir, Bapak Norbertus Kasmani, dan Bapak Andreas Darso Sagimin. Pada tahun 1972, umat lingkungan Sekecer sudah memiliki tempat Ibadah, meskipun dengan kondisi bangunan yang memprihatinkan. Pada tanggal 13 Mei 2005, Kapel lama dibongkar dan dilakukan peletakkan batu pertama oleh Pastor Cassianus Teguh Budiarto SJ, pada tanggal 18 Mei 2005 dan akhirnya pada tanggal 23 Juni 2007, diresmikan oleh Mgr. Ignatius Suharyo. Pada masa Pastor Ignatius Dradjat Soesilo, SJ diadakan renovasi kapel dan pemasangan paving sekitar kapel tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, umat lingkungan Santa Maria Sekecer mangalami pasang surut.
Lingkungan Santo Damianus Plantungan, pada bulan April 1953 hanya terdapat satu orang, Bapak Timotius Sukasno, seorang polisi yang bertugas di Plantungan. Kemudian 1971, tambah Bapak Agustinus Sumarsono, seorang pegawai Lembaga Pemasyarakatan (LP) Plantungan. Sebagian dari LP itu dipakai untuk tahanan politik khusus wanita yang ditangani oleh Intansi Rehabilitasi XII (Inrehab XII). Dari 976 tahanan politik itu , kurang lebih ada 35 orang yang beragama katolik. Kemudian, pada 10 Maret 1973, anak pertama Bapak Timotius Sukasno yang bernama Maria Magdalena Sugiatmi menikah dengan Bapak Ignatius Sunarto. Pada 1 Mei 1974, kedatangan seorang simpatisan katolik dari Yogyakarta, A. Dilam Diharjo. Kemudian pada bulan Juli 1974 terjadi pernikahan antara Bapak Ignatius Sugiarto dengan Christiani C. Pada masa itu, umat lingkungan Santo Damianus Plantungan terdiri 5 keluarga dan 1 bujangan ditambah dengan 35 orang tahanan Politik. Semula ibadah dilakukan secara bergiliran dari rumah ke rumah dan kemudian atas kebijaksanaan Kepala LP dan Inrehab disediakan di kompleh LP, tempat ibadah yang dipakai secara bergantian dengan umat Kristen Protestan. Pada tahun 1979, mulai banyak orang yang tertarik dengan kehidupan orang-orang Katolik Plantungan yang hidup rukun. Pada tahun 1980, orang-orang Manggungmangu antara lain: Bapak Waris, Bapak Sukar, Bapak Rusdi dan Bapak Toyo dibaptis oleh Pastor Albanus Padmawardaya, SJ. Berkat pengaruh orang orang yang dibaptis ini, kemudian umat katolik berkembang bahkan sampai desa Bendosari. Di samping itu ,pada tahun ini, ada banyak guru guru yang ditempatkan di Plantungan, 7 orang di antaranya ternyata guru katolik , dan Kapolsek Plantungan juga katolik. Pada tahun 1981, putra daerah dusun Plantungan , Ibu Sulastri dari desa Jatinem dan Bapak – Ibu Sarmadi ingin menjadi katolik. Mengingat perkembangan umat tersebut, Keuskupan berkehendak untuk mendirikan sebuah Kapel di Jatinem dan Bapak Andreas Sarwadi merelakan tanahnya dibeli oleh Keuskupan untuk pendirian Kapel tersebut. Pada tahun 1987, keluar ijin mendirikan gereja di Jatinem dari Bupati Kendal, Bapak Sudono Yusup, BA. Peletakan batu pertama untuk pendirian Kapel dilakukan oleh Pastor Damianus Edy Winarto, SJ. Kemudian pata tahun 1995, Kapel harus dipugar karena kapel tertimbun tanah sebagai akibat pelebaran jalan. Berkat peran serta seluruh umat, bangunan Kapel dapat berdiri kembali, hal ini terjadi pada masanya Pastor Mikhael Windyatmaka, SJ dan Pastor Tarsisius Widiyana, SJ. Pada masa Pastor Paulus Agung Wijayanto, SJ, Kapel Santo Damianus Plantungan direnovasi total dan pada tanggal 21 April 2014 dimulailah peletakan batu pertama, serta akhirnya diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Johannes Pujasumarta pada tanggal 14 Juni 2015.
Sedangkan Lingkungan Santo Basilius Bendosari, bermula dengan kedatangan pasutri Bapak Caswito (muslim) dan SA. Rumanah (katolik) serta menetap di dusun Pugeran sejak tanggal 19 April 1972. Pada tanggal 25 Maret 1982, ada warga yang menjadi katolik, yaitu: Bapak Sujaman beserta ibu, Bapak Kusnoto Hadi beserta ibu dan Bapak Caswito. Bapak Stephanus Purnama (Guru SD) sebagai pemandu agamanya. Akhirnya mereka berlima dibaptis oleh Pastor Damianus Edi Winarto, SJ di rumah Bapak Caswito, pada tanggal 5 Juni 1983. Lingkungan Bendosari diberi pelindung , Santo Basilius oleh Pastor Josephus Wiharjono SJ. Pada tahun 2002, umat katoliknya berjumlah 20 orang.
Penyebaran agama katolik di Lingkungan Santo Paulus Gebangan sangat ditentukan oleh peran aktif beberapa tokoh umat. Dari tahun 1978 sampai dengan tahun 1979, Pak AM. Sutrisno Cs. mulai menyebarkan agama katolik di Gebangan, dan kemudian diteruskan oleh pasutri Suparmanyu. Pada tanggal 11 April 1981 terjadi baptisan pertama atas 47 orang, yang terdiri dari 26 anak dan 21 dewasa, oleh Pastor Albanus Padmawardaya, SJ di Ngloji, rumah dinas Bapak Suparmanyu. Pada tahun 1981-1982, dibangun sebuah Kapel oleh umat generasi pertama yang diprakarsai dan didanai oleh Bp. Suparmayu, seorang sinder kebun Afdeling Gebangan, kebun Sukomangli, PTPN IX Nusantara di masa Pastor Albanus Padmawardaya SJ. Pada tahun 1988, diadakan renovasi pada masa Pastor Josephus Suma Hadiwinata, SJ. Pada tahun 2011, pada masa Pastor Ignatius Dradjat Soesilo, SJ, Kapel tersebut direnovasi, dari bulan Maret 2011 hingga Desember 2011, dan pada tanggal 16 Juni 2013 diresmikan oleh Mgr Johannes Pujasumarta.
Lingkungan Santo Agustinus Krandegan meliputi dusun Pesanggrahan, Kalidukuh, Krandegan, Manggung, Kalikunal. Dulu namanya bukan lingkungan Krandegan, tetapi lingkungan Pesanggrahan. Tahun 1963 menjadi titik awal adanya umat katolik di Lingkungan Krandegan. Orang yang pertama menjadi katolik adalah Bapak Salomon sekeluarga, Bapak Christian (Kalidukuh) sekeluarga, Bapak Leo Karto Bero sekeluarga (Pesanggrahan), Bapak Kastawi (Pablengan) dan Bapak Suhari . Mereka dibaptis oleh Pastor Fredericus Knetsch SJ. Pada tahun 1979, Bapak Agustinus Sukardi dilantik sebagai prodiakon oleh Pastor Ignatius Ismartono. Kemudian pada tanggal 10 April 1981, ada pembaptisan 25 orang oleh Pastor Albanus Padmawardaya SJ di waktu penggembalaan Pastor Ismartono SJ. Sebelum memiliki kapel, pendalaman iman dan misa suci diberikan oleh para romo dan para suster SND di rumah umat, misalnya di Rumah Bapak Karto Bejo dan di rumah Bapak Suparno, sedang perayaan paskah pernah dirayakan di Kapel Curug Sewu atau di gereja Ngaliyan, dengan bantuan transportasi dari pimpinan perkebunan Curug. Bila tidak ada transportasi, mereka bersama sama berjalan kaki. Pada masa Pastor Lukas Alamsyah, SJ, dibangunlah kapel sederhana di sebelah barat kuburan Pesanggarahan dan pada masa Pastor Josephus Wiharjono, SJ, Kapel tersebut dipindahkan dengan tukar guling tanah di dusun Krandegan, Sidokumpul, Patean, milik umat Katolik yang bernama Bapak Torto dan Ibu Miatun. Kapel tersebut diberi nama Santo Agustinus. Pada masa Pastor Mikhael Windyatmaka SJ, tanggal 17 Agustus 1998 secara gotong-royong kapel dipugar. Lalu Kapel direnovasi secara total pada bulan Agustus 2012 – Januari 2013 pada masa Pastor Ignatius Dradjat Soesilo SJ, dan diberkati oleh Mgr. Johannes Pujasumarta. pada tanggal 16 Juni 2013.
Lingkungan Santo Yusuf Pilangsari bermula dari adanya informasi yang sampai pada Pastor Aloysius Pradjasuta SJ bahwa ada seorang yang beragama Kristen, namanya Bapak Purwadi. Kemudian, pastor Aloysius Pradjasuta SJ mencarinya di dusun Pilangsari dan disambut gembira oleh keluarga Bapak Purwadi yang lalu memanggil saudara dan teman temannya antara lain: Pak Sihono, Pak Marsudi, Pak Maryadi. Dari perjumpaan itu, banyak orang tertarik. Pada tahun 1979, Pastor Ignatius Ismartono, SJ memulai pelajaran pertama di rumah Bapak Purwadi, yang kemudian pindah ke rumah Pak Mangun Semito karena banyak peserta yang dekat dengan rumah Pak Mangun Semito. Pada tanggal 7 April 1981 terjadi pembaptisan pertama oleh Pastor Albanus Padmawardaya, SJ kepada 14 KK dengan jumlah 96 jiwa. Pada tahun 1983, terjadi pembaptisan kedua oleh Pastor Banawiratma, SJ sebanyak 6 KK. Pada tahun 1987, ada penambahan 3 KK lagi, yang dibaptis oleh Pastor Josephus Wiharjono, SJ. Umat selanjutnya mengalami pasang surut. Pada tahun 1980, Pastor Albanus Padmawardaya, SJ mengajak umat Pilangsari untuk membuat kapel kecil. Kemudian Kapel dipugar dan dijadikan lebih besar dan yang kemudian pada tahun 1985 dinamakan Kapel Santo Yusup oleh Bapak Kardinal Justinus Darmojuwono. Pada tahun 1987, Kapel yang terbuat dari rangka kayu, gedheg dan beratap genteng dibongkar total oleh Pastor Josephus Wiharjono, SJ dan dibangun kapel semi permanen (1994) dengan rangka kayu, tembok dan lantai tegel . Pada tanggal 20 September 2006, Kapel tersebut dibongkar pada masa Pastor Albertus Maria Roni Nuharyanto, SJ dan dilanjutkan pembangunannya oleh Pastor Ignatius Dradjat Soesilo SJ, dan akhirnya pada tangal 16 Juni 2013 diresmikan oleh Mgr. Johannes Pujasumarta.
Lingkungan Santo Agustinus Gemuh Singkalan berawal dari ketidakmantapan terhadap aliran kebatinan yang mereka ikuti. Kemudian, mereka mendatangi orang dukun, yang bernama Sedyohadiprayitno, dan disarankan untuk mencari orang yang berhati putih, sehingga mereka akan selamat sampai anak cucu. Mereka menafsirkannya sebagai orang yang berpakaian serba putih (ciri seorang pastor). Kemudian, orang-orang Gemuh Singkalan ingin belajar agama Katolik, Akhirnya pada tahun 1979, ada 2 orang yang bernama : Bapak Supaat dan Bapak Kastin yang mendatangi Bapak Agustinus sukardi untuk memintanya mengajar agama katolik bagi warga Gemuh Singkalan di rumah Bapak Kogi ( pak Bayan). Lalu pelajaran agama bagi mereka dilayani oleh Bapak Agustinus Sukardi, Ciptomardi dan beberapa tokoh umat katolik Ngaliyan. Setelah satu tahun menerima pelajaran agama, pada tahun 1980, 200 warga dusun Gemuh Singkalan dibaptis oleh Pastor Albanus Padmawardaya, SJ. Dalam perkembangannya umat semakin menyusut. Sekitar tahun 1980-1982, kapel Gemuh Singkalan pertama yang dinamai Kapel Santo Martinus, yang berbahan kayu, beratap daun ilalang serta berpagar dari anyaman babu dibangun oleh Pastor Basilius Soedibja, SJ. Pada tahun 1986-1987, Kapel tersebut direnovasi jadi bangunan permanen oleh Pastor Josephus Wiharjono, SJ dan diberi nama Kapel Santo Petrus. Karena kapel tersebut rusak berat, Kapel direnovasi total pada tahun 1995-1999, oleh Pastur Mikhael Windyatmaka, SJ dan diganti nama Kapel Santo Agustinus serta diberkati oleh Mgr. Ignatius Suharyo, pada tanggal 28 Agustus 2000. Pada tahun 2011, Pastor Ignatius Dradjat Soesilo, SJ merenovasi altar kapel dan lingkungan kapel, dan pada tahun 2018 dibangun” Sasana Kabudayan Katresnan Adi” oleh Pastor Paulus Agung Wijayanto, SJ dan diresmikan 31 Agustus 2018.
Lingkungan Santo Petrus Ngampel bermula dari keterpesonaannya Mbah Kartorejo (Bekel) terhadap pribadi Frater Laurentius Sutarno SJ yang baik sekali. Pada tahun 1982, Mbah Kertorejo, Pak Rebo, Pak Darjo, Pak Samto, ditambah Sastro,Sarmo, Sumin dan pak Nyoto mendapat pelajaran agama katolik dari pak Cipto Mardi. Pada tahun 1983 dan 1984, pelajaran dilanjutkan oleh Pak Agustinus sukardi (Krandegan) dan dilaksanakan di rumah Mbah Kartorejo (Bekel ) dengan peserta lebih kurang 13 KK. Meski awalnya banyak yang simpatik, tetapi lalu mundur teratur karena takut terhadap tekanan masyarakat dan tersisa 64 orang saja. Pada tanggal 30 Mei 1985, diadakan pembaptisan atas 64 orang tersebut, oleh Pastor Josephuys Wiharjono SJ di rumah Bapak Kartorejo. Pada tahun 1986, diadakan pembangunan Kapel sederhana dengan memakai kayu bekas renovasi kapel Pilangsari oleh Pastor Josephus Wiharjono , SJ. Pada 1995, Pastor Mikhael WindyatmakaSJ membangun kapel baru yang berbahan kayu dan beratap genteng di lahan berbeda milik Bapak Sanjaya . Kapel itu diberi nama St. Petrus. Pada bulan Maret 2012-Agustus 2012 , Kapel direnovasi oleh Pastor Ignatius Dradjat Soesilo dan membangun ruang pertemuan di belakang Kapel. Demikian dalam perkembangannya, Paroki Santo Isidorus Sukoreja memiliki 2 Gedung Gereja, yaitu di Sukorejo dan Ngaliyan, serta beberapa Kapel, yaitu: Gemuh Singkalah, Pilangsari, Ngampel, Kradegan, Curug sewu (Maria De Fatima), Kalimanggis, Pageruyung, Sekeceer, Gebangan, dan Plantungan.
Sampai bulan Mei 2022, jumlah umat di Paroki Santo Isidorus Sukorejo berjumlah 1640 , dengan perincian sebagai berikut 802 orang , wanita 838, orang, yang tersebar di 4 wilayah dan terbagi menjadi 23 lingkungan. Pembagian wilayan Paroki Santo Isidorus didasarkanb pada kedekatan geografis, terbagi empat wilayah yaitu: wilayah Ignatius merupakan wilayah kota yang terdiri dari 7 lingkungan, Wilayah Sidodadi yang terdiri dari 4 lingkungan, Wilayah Benedictus Pageruyung, terdiri dari 3 lingkungan, dan Wilayah Hyang Triniji Suci Ngaliyan yang terdiri dari 9 lingkungan.
ditulis oleh: Rm. Tarsisius Puspodianto, SJ; 2023
Masih suka belajar menulis;
masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.