Blekok

-Cerita Kecil-

Blekok adalah sejenis burung yang biasanya memakan ikan atau kepiting di sawah.

Ketika aku berjalan menyusuri sawah yang hijau, ada suatu hiburan lain ketika melihat burung blekok putih terbang di atas sawah.

Blekok yang berwarna putih itu seperti malaikat penghibur bagiku. Tetapi barangkali bagi kepiting-kepiting sawah, blekok itu adalah malaikat pencabut nyawa.

Ada sawah hijau. Ada air yang melimpah sedang mengairi sawah. Muncul di sawah itu berbagai jenis satwa dari belalang hijau, belalang kayu dan katak-katak. Muncul juga hewan air, kepiting, belut, lintah dan ikan-ikan. Makhluk hidup itu seperti tiba-tiba bermunculan di persawahan yang dialiri air. entah darimana datangnya aku tidak tahu. itu suatu hal yang menakjubkan.

Barangkali itulah yang disebut siklus kehidupan. Ada waktunya ciptaan pergi, ada waktunya ciptaan itu bergilir hadir. Makhluk hidup memang datang dan pergi.

Namun, blekok putih itu menarik perhatianku tersendiri. Dia muncul dengan gagah di tengah sawah. Kadang terbang menukik dan singgah sebentar untuk mengambil mangsa. Lalu terbang lagi, berputar. Singgah lagi, beraksi dengan paruhnya mematuk mangsa yang terlena.

Dia konsisten dengan pola dan geraknya. Dia tidak pura-pura. Dia datang baju putihnya, namun ganas dengan paruhnya.

Diam-diam aku kagum memandangnya.

Bisakah manusia belajar untuk setia dan konsisten terhadap keluhuran hidupnya? Ya, manusia disebut berasal dari debu tetapi dihembusi nafas ilahi. Maka, manusia terus menerus ada dalam tarik menarik antara hidup mengikuti kecenderungan duniawi dan hidup mengikuti kecenderungan roh ilahi. Lalu, konsisten bagi manusia itu barang mahal.

Ada yang menyebut “mencla-mencle” atau “pagi dele, sore tempe”. Hari-hari manusia memang seperti rumput di padang yang terombang-ambing. Begitukah kita?

Eh, betapa celakanya kita kalau terus terombang-ambing. Maka, konsisten untuk menjaga keluhuran itu bukan paket jadi. Manusia diberi kehendak bebas untuk memilih dan menentukan dirinya. Manusia bukan robot. Manusia bukan blekok yang hidup mengikuti insting.

Menjadi manusia itu adalah pilihan kita. Kitalah yang bertanggungjawab atas pilihan hari ini. Pilihan hari ini menentukan keluhuran kita.

Bagaimana itu ya? Yah, latihan menjadi luhur ya dengan mengalahkan kecenderungan insting ego kita. Maka, puasa dan pantang itu salah satu saranya untuk mengalahkan nafsu insting kita. Ada lagi sarana yang positif yakni berdoa, membaca tulisan suci, dan melakukan segala yang baik sebagai perwujudan amal kasih.

Itu semua membantu kita untuk memberi ruang bagi kemerdekaan roh dalam diri kita. Ingat loh, kita bukan hanya makhluk jasmani, tetapi juga makhluk rohani.

Ah, betapa enaknya menjadi blekok ya tak hidup dalam ketegangan itu seperti manusia. Tapi blekok pun mempunyai nasibnya sendiri. Kalau ditangkap orang bisa digoreng menjadi teman nasi.😀

Bagaimana pun kita bersyukur diberi kebebasan untuk memilih dalam ketegangan tiap hari. Hidup bahagia bagi manusia itu karena ia berani memilih yang luhur. Hidup manusia yang membiarkan diri tanpa berani memilih justru membuat jatidirinya hancur, dan merosot ke dalam lumpur.

Aku pandang blekok itu terbang menjauh. Ia terbang ke selatan, entah kemana. Ia,menghilang di telan awan.

Aku langkahkan kaki pulang, melewati jalan sawah yang berlumpur. Kesegaran kurasakan setelah sepagian itu berjalan di tengah lumpur.

Salam pertobatan
eMYe

 

-ditulis oleh eMYe-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.