Sepasang Kupu-kupu

-Cerita Kecil-

Ketika aku berjalan di sawah, kulihat sepasang kupu-kupu terbang berkejaran. Tak berapa lama kemudian, mereka hinggap di sebuah dahan rumput liar. Aku bertanya dalam hati, “Apa gerangan yang menjadi percakapan mereka?” tidak ada suara. Keduanya diam. Hanya berkomunikasi dengan sayapnya. Satu membuka, mengepakkan sayap, lalu yang lain menjawab dengan membuka dan mengepakkan sayap juga. Apa gerangan yang dibicarakannya? Entahlah, aku bukan kupu-kupu. Tetapi rasa ingin tahuku menggerakkan tanyaku.

Aku lalu pandang mereka dalam diam. Hening menyelimuti persawahan di pagi ini. Hanya suara belalang yang kadang terdengar di semak-semak sekitarnya. Itu pun tak mengganggu sepasang kupu-kupu yang sedang asyik dalam diam.

Kupu-kupu yang terbang kesana kemari hanya mencari tempat perhinggapan yang nyaman. Atau mungkin, kupu-kupu yang terbang “ngalor ngidul, ngetan bali ngulon” (ke utara selatan, ke timur lalu ke barat) hanya sekedar memikat yang lain, agar bisa bersama hingga di bunga yang berdekatan sekedar menghisap madunya.

Pemandangan alam yang biasa itu indah di mata yang menangkapnya. Namun, bisa jadi kupu-kupu dianggap mengganggu juga bila hati tidak siap.

Ketika kupu-kupu masuk kamar, ada sebagian masyarakat yang mempercayai sebagai medium kehadiran saudara yang sudah meninggal. Maka, kadang kupu-kupu disambut hangat bagaikan tamu. Disapa sebagai saudara yang datang.

Bagi anak-anak, bermain dengan kupu-kupu itu menyenangkan. Karena ramahnya, anak-anak yang masih polos ingin menangkapnya. Kata-katanya dalam bahasa Jawa untuk menangkap kupu-kupu itu “incup” seperti dalam tembang anak-anak: “Kupu-kupu tak incupe, mung abure ngewuhake..(kupu-kupu kan kutangkap, namun terbangnya merepotkan)..” sebuah ungkapan keramahan dan sayang.

Namun, sesuatu yang indah dan menawan dari kupu-kupu juga menjadi lambang sesuatu yang malang. Istilah “kupu-kupu malam” memberi arti malang dan buruknya keindahan yang sekedar dinikmati sekejap dalam kegelapan dan keremangan. Bukankah keindahan nyata dalam terang? Segelap-gelapnya alam, apalah artinya tanpa secercah cahaya.

Sepasang kupu-kupu itu masih diam. Lalu kutinggal pergi seraya membawa gambaran indah. Intimitas yang makin dalam direguk dalam diam, bukan hiruk pikuk dunia yang kelam.

Aku kembali dalam diam sambil menikmati mandi mentari yang menghangatkan tubuh, dan membuat kulit semakin kelam.

Salam sehat
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Suket Teki

-Cerita Kecil-

“Suket Teki” (Rumput Teki)

Di kebun sayur ada banyak rumput teki. Bahkan tumbuhnya bisa lebih cepat daripada sayurannya. Kalau tidak rajin menyianginya, tanah yang sudah dicangkul akan cepat penuh dengan rumput liar itu.

Munculnya rumput itu sering bikin kecewa karena mengganggu pertumbuhan tanaman yang diharapkan bisa lebih berguna untuk dimakan.

Saking liarnya, saking mudah bikin kecewanya, sampai-sampai Didi Kempot almarhum pun mengambil metafor rumput teki dalam lagunya. Syairnya: “tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki” (aku telah menanam padi, tetapi malahan yang tumbuh rumput teki). Sebuah gambaran kekecewaan dalam percintaan. Sudah banyak berbuat baik, mungkin juga sudah habis-habisan mencintai pacar, tetapi balasannya malah mengecewakan dan menyakitkan.

Itulah pengalaman sehari-hari kita. Bukan hanya soal percintaan, tetapi dalam pergaulan sosial kita. Kebaikan kita mudah sekali dibalas dengan kebencian dan pengkhianatan. Entah itu pemimpin, entah orang biasa, tentu pernah mengalaminya.

Memang “suket teki” itu tanaman yang jauh lebih kecil dibandingkan tanaman padi, apalagi sayuran. Namun biasanya, meskipun kecil, rumput itu bisa tumbuh banyak sekali.

Gambaran itu menunjuk pada penyakit iri dan kebencian yang mudah sekali tumbuh di hati manusia, dan mudah sekali menyebar. Meskipun kecil, rasa iri dan benci tetap menyakitkan. Butuh jiwa besar untuk menghadapinya.

Rumput teki yang kecil itu memiliki akar yang pahit. Bisa dipakai untuk obat katanya, menambah kekuatan dan daya tahan. Begitu pula kepahitan-kepahitan hidup yang kita alami setiap hari, bisa menjadi kekuatan kita menghadapi tantangan yang lebih besar.

Semoga di tengah tantangan besar wabah corona ini, kita tetap kuat meski kadang harus menghadapi perlawanan, kebandelan orang yang tidak disiplin diri. Tetap menebar kebaikan dengan berjarak dan setia pada anjuran yang berwenang akan bisa membantu melewati masa krisis ini.

Salam sehat.
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Ranting Tanjung Kering

-Cerita Kecil-

“Ranting Tanjung Kering”

Di taman ada pohon tanjung yang disukai burung-burung untuk bersarang. Bukan hanya burung yang suka, juga tupai-tupai pun kelihatan gembira karena buahnya yang kecil ada sepanjang tahun. Ketika pohon-pohon sekitarnya sudah tidak berbuah, pohon tanjung masih memberikan buahnya yang sangat kecil-kecil.

Pohon tanjung biasa ditempatkan di taman atau pelataran depan rumah, bukan hanya untuk perindang dan pengasri, tetapi bisa dipakai untuk menghadirkan lambang keramahtamahan (hospitality). Mengapa?

Kalau boleh dikeratabahasakan, tanjung itu “tresna jinunjung”. Maksudnya, bisa kita artikan tanaman itu menyambut setiap orang yang datang dengan menjunjung hormat, bukan permusuhan. Setiap orang yang datang disambut. Setelah merasakan disambut, setiap tamu yang hadir diharapkan krasan.

Begitu juga harapan bagi orang muda yang datang, bukan hanya krasan tetapi lalu terpikat hatinya menanggapi panggilan Tuhan untuk tinggal menjadi bagian dalam persekutuan dan perutusan yang sama.

Pagi ini tampak ada ranting pohon tanjung yang patah dan jatuh karena memang sudah kering. Padahal kayu tanjung itu termasuk kayu yang sangat keras. Toh demikian, begitu kering, ia pun patah.

Yang namanya ranting memang tidak bisa hidup lepas dari batang pohon. Begitu lepas, yah hanya menjadi kayu bakar.

Kiranya hidup kita pun tak ubahnya sebagai ranting. Hidup kita bergantung pada Sang Sumbernya. Lepas dari sumber itu, hidup kita tidak ada dayanya, dan layu lalu mati ditelan bumi.

Menyadari kenyataan itu, masa pandemi corona ini menjadi kesempatan kita untuk semakin dekat dan bersatu dengan Sang Pemberi hidup. Sewaktu-waktu hidup kita dicabut, dan bagai kayu kering rontok. Sebelum rontok, semoga masih bisa berbuah.

Seperti juga pohon tanjung, yang bisa melambangkan “hidup dijunjung”, selama masih bernafas, alangkah indahnya masih bisa saling menyanjung, menghormati dan berempati.

Adalah kesombongan belaka, kita mengatakan, “Aku tak butuh itu.” Sedingin-dinginya cinta, sekering-keringnya kasih sayang, pujian dan dukungan, perhatian dan bantuan, tetaplah masih perlu dihadirkan sebagai ungkapannya.

Ranting kering itu masih tergeletak di bawah pohon tanjung. Tupai masih berlari berkejaran di dedahanan. Kegembiraan masih ada meskipun si kering telah terjatuh tidak berdaya. Alangkah bahagianya ranting dan dahan yang masih bisa menjadi tempat bermain dan bercanda burung dan tupai di sana.

Bahagia itu memberi ruang hidup bagi sesama.

13 Mei 2020
Salam sehat
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.