Rabu Abu

-Katekese Singkat-

“Quaresima” & Rabu Abu

Masa persiapan Paskah disebut juga masa Prapaskah. Dalam bahasa Latin disebut “Quaresima” atau “Quadragessima” yang artinya 40 hari sebelum Paskah. Ini mengingatkan juga masa 40 tahun bangsa Israel berada di padang gurun sebelum masuk tanah terjanji.

Bagi kita, masa 40 hari sebagai masa retret pertobatan yang diawali dengan menandai diri kita dengan abu.

Mengapa abu?

Abu mengingatkan bahwa manusia diciptakan dari debu dan dihembusi nafas ilahi (Kej. 2:7).

Abu mengingatkan asal manusia yang rendah, tak berharga di mata Tuhan namun Tuhan telah berkenan mengangkatnya. Maka, berkat Roh Allah yang menghidupkan, manusia itu pada hakekatnya luhur dan mulia.

Meskipun manusia terikat pada debu sebagai asalnya, namun manusia mampu menempatkan keterikatan itu secara tidak mutlak. Semua keterikatan pada dunia itu sarana bagi kita untuk hidup memuliakan Allah.

Nah, dalam rangka itu, doa, puasa dan amal kasih menjadi latihannya.

Pantang dan puasa adalah sarana latihan untuk tidak melulu tergantung pada pemenuhan kebutuhan makan dan minum.

Doa adalah sarana latihan untuk terus menerus hidup dalam persekutuan dengan Allah. Doa adalah sikap keterbukaan untuk mengikuti tuntunan Roh Allah. Ingat, kita hidup karena diberi nafas ilahi.

Amal kasih adalah sarana hidup selaras dengan kehendak Allah. Apa kehendak Allah itu? Kehendak Allah itu hanya mengasihi. Jadi kalau mau selaras dengan kehendakNya, hiduplah dalam jalan kasih. Sebab, Allah itu kasih! “Deus caritas est.”

Jadi masa Prapaskah adalah mssa kita kembali pada Allah, pada jati diri kita sebagai makhluk rohani, dan sebagai anak-anak Allah.

Abu mendai pengakuan diri kita yang rendah, melulu bergantung pada roh Allah. Tidak ada sikap tobat yang tepat kecuali merendahkan diri kita.

Selamat menjalani padang gurun pertobatan kita agar masuk kembali menjadi bagian dari anak-anak Allah yang akan kita rayakan pada Paskah nanti.

“Gloria Dei, vivens homo” (St. Ireneus). Allah dimuliakan ketika kita sungguh hidup sebagai manusia. Maka, semakin manusiawi, semakin ilahi.

Salam pertobatan
eMYe

ditulis oleh eMYe –

Wedang Ronde

-Cerita Kecil-

Semalam rame-rame diajak ngeronde. Apa sih asyiknya minum wedang ronde? Di tepi jalan lagi?

Wedang ronde itu minuman hangat dari jahe dengan gula merah manis yang ditambah sesuatu yang khas, yakni bola sagu isi kacang. Bila di minum malam-malam akan menambah kehangatan tubuh.

Ah, minum manis malam-malam gak bagus untuk diet. Iya sih, tapi aku tidak bisa melewatkan kehangatan lain, yakni perjumpaan dengan teman-teman.

Nah, asyiknya minum ronde itu memberi kehangatan persaudaraan itu.

Ya, semua rindu persaudaraan. Apalagi di tengah jaman yang digerus serba mesin dan digital, bahkan di lingkungan suci pelayanan gereja, persaudaraan bisa mudah retak oleh perkara sepele. Ladang pelayanan bisa menjadi ladang perseteruan.

Mengapa itu mudah terjadi bahkan di lingkup keluarga? Barangkali karena kita terjebak dalam dinamika kerja seperti mesin. Pelayanan juga masuk ke mesin. Harus ada out put yang bisa diukur. Semua lalu kejar hasil, mesti hati dikorbankan dan menjadi kerdil. Hilang waktu dan kesempatan duduk bersama untuk sekedar bercengkerama. Kalau bertemu toh hanya sekedar tanya hasil kerjanya.

Kalau toh ada, itu pun barangkali sambil meringis menjawab tanya kapan lagi rapat kerja ? Kapan selesai targetnya? Sampai dimana urusannya?

Kapan hati kita saling menyapa dan disapa? Ah, pertanyaan sok suci ini. Itu kekanak-kanakan. Dunia dewasa itu kerja, produktif gitu. Jangan melankolis. Manja ah…

Tentu bukan salah juga itu. Memang dunia mesin selalu dituntun hasil. Bermelo-melo, apalagi bisa nongkrong minum wedang ronde ah itu buang waktu gue.

Hmm…perjumpaan yang otentik memang sering terjadi di momen yang dianggap “buang waktu”. Di saat kita bisa rileks, tertawa dan menangis dengan bebas.

Hari-hari kita itu seperti bunga di padang. Pagi mekar, sore bisa cepat layu. Tetapi berbahagialah yang bisa menangkap singkatnya waktu. Kesementaraan itu berharga justru ketika aku dan kamu, kita semua, bisa hidup mekar sepenuh kalbu. Bunga mekar memberi keindahan dalam singkatnya waktu. Persaudaraan kita memberikan sukacita dalam sementaranya hidup di dunia kita.

Berbahagialah yang setia dalam karya-karya yang baik dan dalam pelayanan, meskipun ketidaksempurnaan dan kelemahan sering membuat kita kecewa.

Salam kasih persaudaraan.

eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Jangan Mencari Kekayaaan Namun Carilah Kesucian

Marto

Selama hidup saya, ada dua kesempatan dimana saya berada di tengah-tengah umat Paroki St. Isidorus Sukorejo. Sebelumnya, saya malang melintang bekerja di proyek pengairan Kulon Progo, karyawan PTPN XVIII, lalu sempat juga mengikuti program pemerintah transmigrasi ke Lampung pada tahun 1976 sampai 1984.

Pertama kali di Sukorejo, pada tahun 1969 sampai tahun 1976, saya bertugas sebagai koster Gereja St. Isidorus. Romo yang bertugas disana adalah Romo F. Knetsch, SJ dan dilanjutkan Rm. Aloysius Rochadi Pradjasuta, SJ. Hidup sebagai koster, saya sangat senang karena bisa tinggal di gereja, mengenal saudara-saudara yang seiman, ikut misa setiap pagi, dan jalan-jalan ke stasi dan wilayah. Selain melakukan tugas-tugas di gereja, saya juga bekerja sebagai tukang. Saya masih ingat, waktu itu turut serta dalam pembangunan gedung SD Kanisius Sanjaya(1). Kemudian di tahun 1976, saya sempat meninggalkan Paroki Santo Isidorus Sukorejo karena transmigrasi ke Lampung. Setelah beberapa tahun di Lampung kemudian saya kembali lagi ke Sukorejo.

Saya kembali lagi ke lingkungan Gereja saat Romo Mikhael Windyatmaka, SJ bertugas sebagai pastor paroki. Saat itu saya bukan lagi sebagai koster namun pekerja serabutan. Pekerjaan saya masih di seputar Gereja dan ikut membangun dan memperbaiki kapel yang ada di sekitar Sukorejo. Sejak mulai pertama bekerja sebagai koster, saya merasakan setiap hari selalu senang. Apalagi jika saya bertemu dengan romo yang sering memberi uang  yaitu Romo Knetsch dan Romo Prajasuta.

Saat saya bekerja sebagai tenaga serabutan setelah dari Lampung, romo yang bertugas juga sangat memperhatikan dan mempedulikan saya. Romo yang saya ingat waktu itu Romo Mikhael, Romo Yadi, Romo Roni, dan Romo Agus.  Saya tidak pernah mengalami duka karena saya nderek Yesus, nggih bungah mawon.”

Untuk umat Paroki Sukorejo, saya berharap semua bisa rukun, menjalankan misa dengan hormat, jika bisa silahkan mengikuti misa setiap pagi, jika tidak bisa silahkan mengikuti misa mingguan. Sesungguhnya dalam hidup ini kita jangan mencari kekayaan namun kesucian. Jika sudah tiba saatnya, kita bisa menghadap dengan tenang, “nderek Gusti saklawase.”

 

Sukorejo, 03 Agustus 2017

Bernadus Rajiman Marto Wiharjo

Pernah bekerja sebagai Koster dan pekerja lepas di Paroki Santo Isidorus Sukorejo

 

-diambil dari Buku Kenangan 90 tahun Paroki St. Isidorus Sukorejo-

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Dananya dari mana?

Kapel St. Paulus Gebangan terletak di Kp. Baru RT. 1 RW. 3 Desa Gebangan Kec. Pageruyung Kab. Kendal, dibangun pada tahun 1982 oleh umat generasi pertama yang diprakarsai dan didanai oleh Bp. Suparmanyu seorang Sinder Kebun Afdeling Gebangan Kebun Sukomangli PTPN IX Nusantara pada waktu itu dengan Pastor Paroki Sukorejo Rm. Albanus Pramana Padmawardaya SJ. Kapel dengan ukuran 7 x 14 m tersebut menampung sekitar 50 KK yang dibaptis perdana tahun 1980 di Ngloji rumah dinas Bp. Suparmanyu. Dalam perjalanannya,  kapel tersebut mengalami beberapa kali renovasi dan penambahan ruangan. Namun dalam perkembangannya kondisi kapel makin memprihatinkan karena kurang mendapat perhatian dari umat. Hal seperti ini bisa dimengerti mengingat kondisi ekonomi umat setempat, sehingga  banyak umat yang keluar dari gereja dengan berbagai alasan, seperti ekonomi, perkawinan, politik, SDM dan lain-lain. Hal ini menjadi suatu keprihatinan yang mendalam bagi umat yang kini tinggal 40 KK.
Rupanya doa dan harapan umat akan kerinduan sebuah tempat ibadah yang pantas dan layak segera terwujud dengan disetujuinya permohonan renovasi Gereja St. Paulus Gebangan oleh Pastor kepala Paroki Sukorejo yaitu Rm. Ignatius Dradjat Soesilo, SJ pada tahun 2011, maka segera dilaksanakan peletakan batu pertama dengan prosesi yang dihadiri oleh umat, para tokoh umat non Katolik , Muspika dan Rm. Yohanes Agus Setiyono, SJ . Sejak saat itu pembangunan terus berlangsung, bahu membahu antara panitia dan umat, juga keterlibatan dari umat lain yang begitu antusias karena begitu besar harapan umat agar segera terwujud sebuah Kapel yang bagus. Meskipun dalam perjalanannya timbul pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hati dananya dari mana? Status tanahnya belum jelas,  seperti apa kalau jadi? Kapan jadinya dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain. Seiring dengan bergeraknya waktu satu persatu pertanyaan itu terjawab, sungguh Roh Tuhan bekerja itu sungguh nyata. Kini telah berdiri sebuah kapel yang megah, semakin menjadikan umat intim dengan Allah dan memotivasi umat lain untuk membangun tempat ibadahnya.
Umat bersyukur pada Allah yang telah memberikan rahmat yang begitu melimpah sehingga pembangunan gereja dapat terwujud lewat orang-orang yang dipercaya seperti Rm. Ignatius Dradjat Soesilo, SJ, para donatur dan semua orang yang terlibat.
Semoga kehadiran Kapel St. Paulus ini menjadi berkat bagi sesama dan umat semakin memiliki iman yang mendalam dan tangguh.

BERKAH DALEM.

Antonius Sisworo

(diedit dari tulisan Bpk. Antonius Sisworo, 2012)

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Umat Kini Menjadi Semangat dan Rajin Pergi ke Kapel

Umat kini menjadi semangat dan rajin pergi ke kapel,,,

Kapel Gemuh Singkalan pertama ada  sekitar tahun 80-an. Bangunan Kapel yang pertama berbahan kayu, beratap daun ilalang serta pagar dari anyaman bambu. Walaupun kapel sangat sederhana dan memprihatinkan tetapi umat tetap semangat dalam kegiatan menggereja.

Kapel yang kedua menumpang dirumah Bapak Kasmin (alm) karena Kapel yang pertama rusak. Walaupun hanya menumpang tetapi umat tetap bersemangat untuk pergi ke Kapel. Setelah itu umat kembali mempunyai inisiatif untuk membangun kapel, walaupun dengan material yang sangat sederhana. Material batu dan pasir kami ambil dari sungai “kalibodri” kemudian semen yang kami pakai dicampur dengan kapur putih, tetapi bangunan tersebut tidak tahan lama. Kemudian umat berinisiatif lagi untuk membangun kapel yang kokoh, meskipun umat hanya sebatas  bisa membangun pondasi saja. Pondasi juga hanya menganggur karena keterbatasan biaya untuk melanjutkan bangunan kapel.

Setelah itu datanglah Rm. M Windiatmoko, SJ ke Paroki St. Isidorus Sukorejo sebagai pastor paroki, barulah kapel Gemuh Singkalan mulai dibangun sekitar tahun 2000. Umat bersama Romo mulai membangun Kapel dengan segala keterbatasan yang mereka miliki.

Beberapa lama setelah bangunan jadi, cat dinding Kapel mulai memudar, tetapi umat tidak memiliki biaya untuk melakukan pengecatan ulang. Uang kas lingkungan juga pas-pasan untuk kebutuhan kapel. Setelah datangnya Romo Ignatius Dradjat Soesilo, SJ ke Paroki St. Isidorus Sukorejo, umat mempunyai inisiatif untuk merenovasi  kapel dserta memasang paving di samping kapel. Saya beserta bapak ketua lingkungan datang menemui Romo Dradjat. Kami dan Romo Dradjat bermusyawarah dengan umat untuk membahas hal tersebut. Akhirnya Romo menyetujui dan akhirnya kapel direnovasi.

Seluruh umat lingkungan Gemuh membantu tukang secara bergiliran entah itu wujud tenaga maupun makanan buat para tukang. Mereka sangat berantusias dengan proses renovasi kapel. Seluruh umat menyambut dengan senang hati dan gembira karena kapel telah selesai di renovasi

Umat mengucapkan banyak terima kasih kepada Romo Dradjat dan seluruh pihak yang telah membantu sehingga selesailah proses renovasi kapel Gemuh Singkalan, umat kini menjadi semangat dan rajin pergi ke kapel.

Terima kasih dan berkah dalem.

Ambrosius Suwandri

Tokoh Lingkungan

(diedit dari tulisan Bpk. Ambrosius Suwandri, 2012)

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.

Laba Laba Hijau

-Cerita Kecil-

Pagi itu aku berangkat ke kebun belakang. Aku mau membantu yang bertugas merawat kebun.

Aku pilih sepetak kebun sayuran. Aku dengan pelan mulai mencangkuli, membersihkan rumput liar yang sudah tinggi.

Eh, ternyata aku masih bisa mencangkul loh🤣. Tangan tidak lecet juga. Tetapi setelah satu petak cukup bersih, aku mulai berkeringat banyak. Pandangan kunang-kunang. Ah harus istirahat dulu nih, kataku. Sambil mengusap keringat, aku pandang sekeliling.

Tiba-tiba aku terkejut melihat apa yang di depan mataku. Seekor laba-laba hijau sebesar ibu jari sedang nongkrong di jaring tengahnya.

Waduh, kalau wajahku nabrak dia, apa jadinya nih, aku berkata dengan diriku sendiri. Untung tidak kena.

Lalu kuamati dia. Hijau campur hitam, ada putih peraknya. Sedang apa ya? Tidurkah? Heran juga, orang sibuk di dekatnya kok merasa tidak terusik. Tetap diam bertengger di sarang yang berupa jaring-jaring yang menghubungkan dari daun yang satu ke daun tanaman yang lain. Tak terusik.

Barangkali dia sedang menunggu mangsa masuk ke jejaring jebakannya, sehingga ia bisa memakannya. Lah, emang aku sedang dijebak? Haha, mosok orang bisa dijebak laba-laba. Akulah yang akan lebih dahulu meremukkannya.

Ah, tapi kuurungkan niatku. Laba-laba itu mungkin menjebak nyamuk kebun. Itulah makanannya.

Kulihat lagi. Kuamati. Aku jadi ingat pengalaman: dulu aku pernah kena cairan yang dikeluarkan laba-laba. Waktu itu persis jatuh di wajahku. Panas rasanya di kulit. Sembuhnya lama, dan meninggalkan bekas seperti luka bakar.

Kuusap wajahku. Ah, syukur tidak kena semprotan laba-laba lagi. Tetapi sayang wajahku kena lumpur tanah basah yang menempel di tangan.

Alam yang indah itu ternyata juga menyimpan hal yang menakutkan. Selalu ada predator yang siap memangsa yang lemah. Laba-laba memangsa nyamuk dan serangga yang lain.

Alam manusia juga tida sepi dari predator. Instinct kebinatangan manusia pada dasarnya untuk sekedar upaya survival juga. Tetapi apakah manusia hidup hanya sekedar untuk survive? Kalau hanya untuk mempertahankan hidup, apa bedanya manusia dengar binatang di alam bebas ini?

Apakah manusia membangun jejaring pertemanan untuk mendapatkan mangsa yang lebih lemah? Apakah membangun persaudaraan dan solidaritas hanya untuk membesarkan daya predatornya lebih hebat?

Laba-laba hijau di kebun itu memang gagah dan anggun, tetapi manusia lebih daripada laba-laba itu. Manusia nisa membangun jejaring pertemanan dan persaudaraan bukan untuk menjadi predator. Manusia bersahabat karena manusia mampu mencintai, mengasihi, menghibur, saling dan membantu. Jejaring kasih manusia itu menguatkan yang lemah dan tak berdaya, bukan malahan memperdaya.

“Apa yang kaulakukan pada yang paling lemah, kau lakukan itu padaKu.” (bdk.Mt 25:40)

Jadi kalau kita menindas yang lemah, kita melakukan itu pada Tuhan sendiri.

Kuingat kata-kata Yesus itu. Kubawa dalam hati. Manusia itu bukan predator. Manusia itu “co-creator” dan “co-lover” (rekan sekerja Allah yang mencipta dan mengsihi seluruh alam ciptaanNya).

Salam kasih sayang.
eMYe

 

-ditulis oleh eMYe-

Norma Moral Kristiani

-Katekese Singkat-

Iman tanpa moral itu kosong. Iman tanpa perbuatan (baik) itu mati (Yakobus).

Di tengah arus kebebasan, berbicara tentang norma atau hukum cenderung tidak enak. Konotasi norma dan hukum cenderung membatasi kebebasan. Ini tentu tidaklah salah.

Adanya norma itu karena kebutuhan hidup bersama. Manusia tidak hidup sendiri. “No man is an island.” Maka, norma dibutuhkan agar hidup bersama tidak menjadi liar dan saling merusak apalagi saling menghancurkan. Maka, dalam arti itu norma memang membatasi kebebasan seseorang demi tercapainya tujuan hidup bersama yang damai, adil dan saling menghargai.

Jadi tujuan adanya norma adalah kepentingan dan kebaikan bersama. Norma yang tidak menjamin kebaikan bersama pada dasarnya kehilangan daya ikatnya.

Ada 4 ciri norma moral dalam Gereja Katolik:
(1). Norma itu mesti dapat diterima akal sehat (reasonable).
(2). Norma itu dinyatakan secara publik (promulgated).
(3). Norma itu diumumkan oleh pihak yang memiliki otoritas moral (pemimpin Gereja) sehingga menjadi ajaran resmi.
(4). Norma itu untuk kepentingan dan kebaikan umum bukan individual (for the common good).

Arti kata norma sendiri adalah ukuran atau pegangan yang bisa dipakai untuk menilai sesuatu itu benar atau salah. Karena sifatnya publik dan resmi, maka norma itu mengikat kepentingan bersama.

Nah norma moral itu apa? Norma moral itu ukuran atau pegangan yang dipakai untuk menuntun hidup orang di jalan yang baik sesuai ajaran iman Katolik. Singkatnya, norma moral itu ukuran untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk.

Contoh norma moral Kristiani adalah Sepuluh Perintah Allah (Ten Commandments atau Dekalog) Yang diringkaskan sebagai Hukum Kasih (Cintailah Tuhan Allahmu dan sesamamu) seperti yang diajarkan Kristus.

Dari situ, Gereja merumuskan ajaran moral yang menjawab situasi dan tantangan jaman. Norma moral terus berkembang, tetapi jiwa dan semangatnya tetap sama yakni ajaran cinta kasih yang disampaikan oleh Yesus Kristus. Maka bagi kita, Yesus Kristus adalah sumber dari segala norma moral.

Syalom
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

DEKALOG

-Katekese Singkat-

Dekalog artinya “Sepuluh Sabda” yang juga dikenal sebagai Sepuluh Perintah Allah. Musa menuliskan Sepuluh Sabda itu ke dalam loh batu yang kemudian disimpan dan dihormati sebagai dalam Tabut Perjanjian. Tuhan Allah hadir di dalam sabdaNya itu.

Allah yang dialami sebagai Allah Penyelamat ingin agar rahmat keselamatan itu dijaga dalam umatNya. Tanpa rahmat keselamatan itu umat akan terceraiberai dan mengalami kehancuran. Oleh karena itu Allah memberikan Dekalog kepada Musa agar menjadi pegangan dalam menjaga rahmat keselamatan itu.

Isinya apa? Setiap orang Katolik mestinya sudah tahu ini sebagai hukum kasih yang bisa dikelompokkan dalam pilar-pilar hidup bersama sebagai Umat Allah.

Pilar Pertama/ Dasar : Hormat pada Allah

Kepercayaan pada Allah dan mengandalkan Allah merupakan dasar hidup orang beriman (perintah 1, 2 dan 3).

1. Hormatilah Aku Tuhan Allahmu. Sembahlah Aku sebagai satu-satunya Allah yang menyelamatkanmu.

2. Jangan menyebut nama Tuhan tanpa rasa hormat.

3. Hormatilah Hari Tuhan.

Ketiganya ini sebagai hukum yang erat kaitannya. Menghormati Tuhan nyata juga dalam sikap bakti kita kepadaNya. Sikap bakti menumbuhkan rasa hormat akan nama dan kuasaNya. Maka, aneh apabila orang mengaku percaya akan Tuhan tetapi tidak memiliki sikap bakti kepadaNya. Beriman kepadaNya berarti juga hidup dalam sikap bakti kepadaNya. Sikap bakti itulah yang mengungkapkan cinta kita padaTuhan.

Pilar Kedua: Hormat pada Kehidupan

Pilar kedua (perintah 4 dan 5) merupakan pilar penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan umat. Tanpa pilar ini semua relasi antar manusia pada dasarnya kehilangan dasarnya (raison d’etre).

4. Hormatilah ibu bapamu

5.Jangan membunuh

Menghormati orangtua yang melahirkan kita juga berarti menghormati hidup yang diberikan Tuhan. Hormat terhadap sesama yang paling hakiki adah hormat pada pribadi dan hidupnya. Oleh karena, membunuh merupakan pelanggaran berat.

Pilar Ketiga: Hormat atas Pribadi & Jatidiri Orang

Lebih konkret lagi, prioritas hormat pada sesama dinyatakan pada sikap menghargai pribadinya. Sebab setiap pribadi merupakan gambaran Allah (citra Allah, Kej. 1:6-7). Ini termuat pada perinta ke-6 dan ke-9).

6. Jangan berzinah;

9. Jangan mengingini isteri/suami orang lain.

Menghormati pribadi setiap orang menuntun pada perlakuan yang yang adil pada martabatnya. Hormat pada realitas bahwa kita diciptakan sebagai manusia yang konkret, laki-laki dan perempuan ataupun kenyataan seksualitas yang lain.

Siapapun dia dengan segala kecenderungan seksualitasnya adalah ciptaan Tuhan dan pantas dihormati. Setiap tindak pelecehan berarti merendahkan Tuhan sendiri. Setiap pribadi itu suci, siapa pun dia. Dosa merendahkan martabat orang lain sama saja merendahkan martabat diri sendiri.

Pilar Keempat: Hormat atas Hak Milik

Setiap orang memiliki hak-hak yang sama, termasuk hak milik untuk kebutuhan hidupnya. Pilar ini meliputi perintah 7 dan 10.

7. Jangan mencuri;

10. Jangan mengingini harta milik orang lain.

Pemenuhan hak milik pribadi tidak boleh sampai merusak atau bahkan merampas hak milik pribadi orang lain. Mengambil hak milik orang itu merupakan ketidakadilan, yang merusak rasa hormat pada sesama.

Pilar Kelima: Kejujuran

Memelihara dan membangun kehidupan bersama mesti dengan semangat ketulusan dan kejujuran. Maka, pilar ini tidak bisa diabaikan dalam hidup bersama kita. Ini dirumuskan dalam perintah ke-8.

8. Jangan bersaksi dusta

Hidup bersama tidak bisa dibangun atas dasar dusta. Kalau dengan dusta kita membangun relasi, maka relasi itu rapuh. Dusta itu rapuh bahkan bisa menghancurkan diri sendiri. Tetapi kejujuran itu teguh.

Oleh karena itu, kejujuran perlu menjadi keutamaan atau kekuataan moral kita dalam beriman. Agar menjadi keutamaan moral kejujuran perlu dipupuk sebagai kebijaksanaan. Jujur tidak sama dengan polos. Jujur itu mendengarkan suara hati yang mau melindungi martabat kita sebagai manusia, citra Allah.

Semoga ini berguna bagi kita untuk terus setia memelihara rahmat keselamatan kita yang sudah kita terima melalui Yesus Kristus.

Doa Singkat:

“Selamatkanlah kami Ya Tuhan dari tangan mereka yang masih membenci kami, ya Tuhan. Tuntunlah kami di jalan kasihMu, dalam Kristus Yesus, Pengantara kami. Amin. “

Salam,
eMYe

-ditulis oleh eMYe-

Paradok Cinta

 

Engkau katakan suci
Di tengah serbuan benci.
Aku bilang merah
Engkau katakan darah
Aku bilang kemarin
Engkau katakan hari ini ingkar.

Dunia manusia memang aneh
Yang satu menangis
Yang lain tertawa
Seorang sedang berduka
Lain orang mabuk berpesta.

Kulihat bintang tak indah berkedip
Di langit penuh polusi debu
Angin tak mampu menyibak
Dan pandangku tak mampu menembus
Tebalnya kabut debu di udara yang tebal.

Bila langit ada di hati manusia
Dan bintang-bintang itu nurani sahaja
Adakah mata yang mampu mengerti
Dalamnya gerak batinnya ?

Bila langit adalah wajah kita
Dan bintang-bintang adalah harapan cita
Adakah makhluk yang mengenal cinta
Yang harus dihidupi dalam luka ?

Aku harus bilang apa
Bila dunia terus mendera
Hingga ke ujung Golgota ?

Ah, paradoks cinta.

Cinta itu wajah kita yang terluka.

Cinta itu sepiring nasi dalam gubug yang sama.

Cinta itu curam dalam di ketinggiannya.

Cinta itu sederhana ketika orang masuk di dalamnya.

Cinta itu gamblang dalam kerumitan perasaannya.

Cinta itu merangkul untuk melepaskannya dengan merdeka.

Cinta itu mengikatkan diri untuk bebas terbang ke angkasa.

Cinta itu, betapa pun kecilnya, tak pernah sia-sia.

Cinta itu betapa pun tersembunyinya, nyata dalam perbuatannya.

Cinta itu betapa pun heboh perayaannya mengandung susah derita.

Jadi, rayakan saja apa adanya.

Selamat Hari Kasih Sayang!

 

-eMYe-

(ditulis oleh eMYe)

Masih suka belajar menulis;

masih juga suka ambil foto & video pakai HP jelek.